Sejarah Kampung Adat Kuta Tambaksari Kabupaten Ciamis
Berawal dari cerita dan melihat di televisi admin sangat tertarik dengan Kampung Kuta. Sengaja admin mendatangi tempat tersebut untuk mendapatkan berbagai informasi mengenai Kampung Kuta. Ditelusuri melewati desa dan kecamatan Tambaksari admin menaiki sebuah sepeda motor. informasi yang admin peroleh dari beberapa tokoh mengatakan bahwa kampung Kuta Secara administratif berada di pemerintahan Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis. Kampung Kuta terdiri atas 2 RW dan 4 RT. Kampung ini berbatasan dengan Dusun Cibodas di sebelah utara, Dusun Margamulya di sebelah barat,
dan di sebelah selatan dan timur dengan Sungai Cijolang yang sekaligus merupakan perbatasan wilayah Jawa Barat dengan Jawa Tengah.
Untuk menuju ke kampung tersebut jarak yang harus ditempuh dari kota Kabupaten Ciamis sekitar 34 km menuju ke arah utara dan dapat dicapai dengan menggunakan mobil angkutan umum ke Kecamatan Rancah atau Tambaksari. Dari Kecamatan Rancah tepatnya di pertigaan Cibarengkok bisa menggunakan motor sewaan atau ojeg, dengan kondisi jalan aspal yang berkelok, dan tanjakan yang cukup curam. Jika melalui Kecamatan Cisaga dapat menggunakan kendaraan umum yaitu Angdes yang melalui kawasan Ciawitali desa Girimukti sekitar memakan waktun 1 Jam.
Ada beberapa versi mengenai sejarah Kampung Kuta ini. Menurut cerita rakyat setempat, asal-usul Kampung Kuta berkaitan dengan berdirinya Kerajaan Galuh. Konon, pada zaman dahulu ketika Prabu Galuh yang bernama Ajar Sukaresi (dalam sumber lain, tokoh ini adalah seorang pandita sakti) hendak mendirikan Kerajaan Galuh, Kampung Kuta dipilih untuk pusat kerajaan karena letaknya strategis.
Prabu Galuh memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk mengumpulkan semua keperluan pembangunan keraton seperti kapur bahan bangunan, semen merah dari tanah yang dibakar, pandai besi, dan tukang penyepuh perabot atau benda pusaka. Keraton pun akhirnya selesai dibuat. Namun, pada suatu ketika, Prabu Galuh menemukan lembah yang (Kuta) oleh tebing yang dalamnya sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu. Atas musyawarah dengan para punggawa kerajaan lainnya, diputuskanlah bahwa daerah tersebut tidak cocok untuk dijadikan pusat kerajaan (menurut orang tua, “tidak memenuhi Patang Ewu Domas”).
Selanjutnya, mereka berkelana mencari tempat lain yang memenuhi syarat. Prabu Galuh membawa sekepal tanah dari bekas keratonnya di Kuta sebagai kenang-kenangan. Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, Prabu Galuh dan rombongannya sampai di suatu tempat yang tinggi, lalu melihat-lihat ke sekeliling tempat itu untuk meneliti apakah ada tempat yang cocok untuk membangun kerajaannya. Tempat ia melihat-lihat itu sekarang bernama Tenjolaya.
Prabu Galuh melihat ke arah barat, lalu terlihatlah ada daerah luas terhampar berupa hutan rimba yang menghijau. Ia kemudian melemparkan sekepal tanah yang dibawanya dari Kuta ke arah barat dan jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama “Kepel”. Tanah yang dilemparkan tadi sekarang menjadi sebidang sawah yang datar dan tanahnya berwarna hitam seperti dengan tanah di Kuta, sedangkan tanah di sekitarnya berwarna merah. Prabu Galuh melanjutkan perjalanannya sampai di suatu pedataran yang subur di tepi Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu mendirikan kerajaan di sana .
Cerita selanjutnya tentang Prabu Galuh tersebut hampir mirip dengan cerita Ciung Wanara dalam naskah Wawacan Sajarah Galuh, bahwa Prabu Galuh kemudian digantikan oleh patihnya, Aria Kebondan (dalam naskah disebut Ki Bondan). Prabu Galuh menjadi pertapa di Gunung Padang. Menurut versi tradisi lisan, Prabu Galuh meninggalkan dua orang istri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Saat itu, Dewi Naganingrum sedang mengandung. Ketika Dewi Naganingrum melahirkan, Dewi Pangrenyep menukar bayinya dengan seekor anak anjing. Bayi itu kemudian dihanyutkan ke Sungai Citanduy.
Melihat Dewi Naganingrum beranak seekor anjing, Aria Kebondan yang menjadi raja di Galuh menjadi marah, lalu menyuruh Lengser membunuhnya. Namun, Lengser itu tidak membunuh Dewi Naganingrum, tetapi menyembunyikannya di Kuta. Adapun bayi yang dibuang ke Sungai Citanduy itu kemudian ditemukan oleh Aki Bagalantrang di depan badodon (tempat menangkap ikan)-nya. Bayi itu dipungut dan diasuh oleh Aki Bagalantrang hingga remaja, lalu diberi nama Ciung Wanara.
Tempat Aki Bagalantrang mengasuh bayi itu sekarang disebut daerah “Geger Sunten”, sekitar 6 km dari Kuta. Ciung Wanara kemudian merebut kembali Kerajaan Galuh dari Aria Kebondan melalui sabung ayam, sebagaimana yang diceritakan dalam naskah. Setelah Ciung Wanara menjadi raja, Lengser pun menjemput Dewi Naganingrum sehingga bisa berkumpul kembali dengan anaknya. Kampung Kuta terdapat mitos tentang Tuan Batasela dan Aki Bumi.
Diceritakan bahwa bekas kampung Galuh yang telah diterlantarkan selama beberapa lama ternyata menarik perhatian Raja Cirebon dan Raja Solo. Selanjutnya, masing-masing raja tersebut mengirimkan utusannya untuk menyelidiki keadaan di Kampung Kuta. Raja Cirebon mengutus Aki Bumi, adapun Raja Solo mengutus Tuan Batasela.
Raja Cirebon berpesan kepada utusannya bahwa ia harus pergi ke Kuta, tetapi jika didahului oleh utusan dari Solo, ia tidak boleh memaksa jadi penjaga Kuta. Ia harus mengundurkan diri, tetapi tidak boleh pulang ke Cirebon dan harus terus berdiam di sekitar daerah itu sampai mati. Pesan yang sama juga didapat oleh utusan dari Solo. Pergilah kedua utusan tersebut dari kerajaannya masing-masing.
Utusan dari Solo, Tuan Batasela, berjalan melalui Sungai Cijolang sampai di suatu kampung, lalu beristirahat di sana selama satu malam. Jalan yang dilaluinya itu hingga saat ini masih sering dilalui orang untuk menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Penyeberangan itu diberi nama “Pongpet”. Adapun Aki Bumi dari Cirebon langsung menuju ke Kampung Kuta dengan melalui jalan curam, yang sampai saat ini masih ada dan diberi nama “Regol”, sehingga tiba lebih dulu di Kampung Kuta.
Sesampainya di sana, Aki Bumi menemui para tetua kampung dan melakukan penertiban- penertiban, seperti membuat jalan ke hutan dan membuat tempat peristirahatan di pinggir situ yang disebut “Pamarakan”. Karena telah didahului oleh utusan dari Cirebon, Tuan Batasela kemudian terus bermukim di kampung tempat ia bermalam, yang terletak di utara Kampung Kuta.
Konon, utusan dari Solo itu kekurangan makanan, lalu meminta-minta kepada masyarakat di Kampung itu, tetapi tidak ada yang mau memberi. Keluarlah umpatan dan sumpah dari Tuan Batasela yang mengatakan bahwa “Di kemudian hari, tidak akan ada orang yang kaya di Kampung itu.” Ternyata, hingga saat ini rakyat di kampung itu memang tidak ada yang kaya. Karena menderita terus, Tuan Batasela kemudian bunuh diri dengan keris.
Darah yang keluar dari luka Tuan Batasela berwarna putih, lalu mengalir membentuk parit yang kemudian disebut “Cibodas”. Kampung itu pun diberi nama Kampung Cibodas. Tuan Batasela dimakamkan di tengah- tengah persawahan di sebelah utara Kampung Cibodas. Makamnya masih ada hingga saat ini. Aki Bumi terus menjadi penjaga (kuncen) Kampung Kuta sampai meninggal, lalu dimakamkan bersama keluarganya di tengah-tengah Kampung, yang sekarang termasuk Kampung Margamulya. Tempat makam itu disebut “Pemakaman Aki Bumi”. Setelah keturunan Aki Bumi tidak ada lagi, Raja Cirebon memerintahkan bahwa yang menjadi kuncen di Kampung Kuta berikutnya adalah orang-orang yang dipercayai oleh Aki Bumi, yaitu para leluhur kuncen Kampung Kuta saat ini.
Mitos-mitos yang dituturkan oleh tradisi lisan terkadang mempunyai keterkaitan dengan mitos yang diceritakan dalam sumber naskah. Keterkaitan itu kemudian menimbulkan pertanyaan bagi kita, apakah si penutur mitos yang bersumber pada naskah atau naskah yang ditulis berdasarkan penuturan. Jika dirujuk pada usianya, maka tradisi lisan telah ada sebelum tulisan muncul sehingga dapat diasumsikan bahwa naskah ditulis berdasarkan cerita yang dituturkan.
Tradisi lisan yang terus ada hingga saat ini, seperti yang dituturkan oleh para kuncen atau tukang cerita, terdapat dua kemungkinan mengenai asal-usulnya. Pertama, tradisi lisan itu berdasarkan cerita naskah yang dibaca kemudian dituturkan kembali. Kedua, tradisi lisan itu memang belum pernah dituliskan dalam bentuk naskah, lalu dituturkan secara turun-temurun. Adanya perbedaan versi suatu cerita yang dituturkan dalam naskah dan tradisi lisan disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu perbedaan sumber cerita, distorsi cerita karena pewarisan cerita yang turun-temurun memungkinkan terjadinya penambahan ataupun pengurangan isi cerita, dan adanya keinginan dari penutur cerita untuk mengedepankan peranan seorang tokoh ataupun berapologia atas kesalahan tokoh tersebut.
Demikian pula dengan cerita tentang Kampung Kuta di atas. Ada beberapa bagian yang hampir mirip dengan cerita yang dikemukakan dalam naskah dan ada pula yang berbeda jalan ceritanya. Adapun mengenai kebenaran isi cerita atau mitos tersebut bukanlah suatu permasalahan. Setidaknya, mitos-mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh masyarakatnya. Lebih jauh, bukankah ilmu pengetahuan juga pada awalnya berkembang dari bentuk pemikiran mistis dan ternyata di Kampung Kuta masih aAda Larangan-larangan dan Tradisi Adat yang Masih Dipertahankann.
Kampung ini dikatagorikan sebagai kampung adat, karena mempunyai kesamaan dalam bentuk dan bahan fisik bangunan rumah, adanya ketua adat, dan adanya adat istiadat yang mengikat masyarakatnya. Salah satu warisan ajaran leluhur yang mesti dipatuhi masyarakat Kuta adalah pembangunan rumah. Bila dilanggar, warga Kuta berkeyakinan, musibah atau marabahaya bakal melanda kampung mereka. Aturan adat menyebutkan rumah harus berbentuk panggung dengan ukuran persegi panjang. Atap rumah pun harus dari bahan rumbia atau ijuk.
Kampung Kuta merupakan masyarakat adat yang masih teguh memegang dan menjalankan tradisi dengan pengawasan kuncen dan ketua adat. Kepercayaan terhadap larangan dan adanya mahluk halus atau kekuatan gaib masih tampak pada pandangan mereka terhadap tempat keramat berupa hutan keramat. Hutan keramat tersebut sering didatangi oleh orang-orang yang ingin mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup. Hanya saja, di hutan keramat tersebut tidak boleh meminta sesuatu yang menunjukkan ketamakan seperti kekayaan.
Untuk memasuki wilayah hutan keramat tersebut diberlakukan sejumlah larangan, yakni larangan memanfaatkan dan merusak sumber hutan, memakai baju dinas, memakai perhiasan emas, memakai baju hitam-hitam, membawa tas, memakai alas kaki, meludah, dan berbuat gaduh. Bahkan untuk memasuki Hutan Keramat ini pun tidak boleh memakai alas kaki, Tujuannya agar hutan tersebut tidak tercemar dan tetap lestari. Oleh karena itu, kayu-kayu besar masih terlihat kokoh di Leuweung Gede. Selain itu, sumber air masih terjaga dengan baik. Di pinggir hutan banyak mata air yang bersih dan sering digunakan untuk mencuci muka.
Masyarakat Kampung Kuta mengenal hutan karamat. Dipandang dari sudut etimologis, Kampung Kuta berarti kampung atau dusun yang dikelilingi “kuta” atau penghalang berupa tebing. Menurut cerita yang beredar pada masyarakat setempat, dahulu kala tebing itu berfungsi sebagai penghalang serangan musuh dari luar, ketika Kampung Kuta akan dijadikan sebuah kerajaan oleh Prabu Ajar Sukaresi. Kisah tentang sepak terjang sang Prabu yang menjadi penguasa di Kampung Kuta sangat berpengaruh kepada warganya di kemudian hari.
Sikap sang Prabu yang peduli pada lingkungan itu diteruskan kemudian oleh Ki Bumi yaitu seorang utusan Kerajaan Cirebon yang ditugaskan untuk membantu masyarakat Kampung Kuta menjaga wilayah peninggalan Prabu Ajar Sukaresi. Konon, semula Prabu Ajar Sukaresi bermaksud membangun istana di wilayah tersebut, akan tetapi batal karena lokasi yang ditetapkan berada di tengah-tengah perbukitan. Sementara itu bahan-bahan material yang berupa kayu, semen, batu dan bata bahkan besi sudah terkumpul hingga akhirnya tertimbun tanah dan berubah menjadi sebuah bukit kecil. Kini lokasi tersebut berubah menjadi hutan yang dipercaya warga setempat sangat keramat.
Kawasan hutan keramat boleh dikunjungi oleh orang-orang yang bermaksud mencapai keselamatan, ketenangan hati, kehamonisan rumah tangga, selain meminta harta kekayaan atau maksud-maksud lain dengan meminta bantuan “kuncen” sebagai pemangku adat yang dipercaya mampu berhubungan dengan leluhur yang tinggal di hutan keramat. Kuncen dianggap sebagai penjaga hutan keramat, dan dapat menjadi penghubung antara penunggu hutan keramat dengan orang-orang yang mempunyai maksud. Di wilayah hutan itu ditabukan untuk menyelenggarakan kegiatan duniawi dan dilarang untuk memanfaatkan segala sumber daya dari hutan. Segala sesuatu dibiarkan secara alami, masyarakat dilarang menebang pohon bahkan memungut ranting pun tidak diperkenankan. Jika melanggar tabu atau larangan itu, maka orang tersebut akan mendapatkan sanksi berupa malapetaka.
Larangan-larangan lain yang berlaku di luar wilayah hutan keramat tapi masih termasuk wilayah Kampung Kuta pun wajib dipatuhi, seperti larangan membangun rumah dengan atap genting, larangan mengubur jenazah di Kampung Kuta, larangan memperlihatkan hal-hal yang bersifat memamerkan kekayaan yang bisa menimbulkan persaingan, larangan mementaskan kesenian yang mengandung lakon dan cerita, misalnya wayang. Larangan-larangan tersebut apabila dilanggar diyakini oleh masyarakat akan menyebabkan celaka bagi mereka yang melanggarnya. Norma adat dan agama memiliki intensitas dan “kekuatan” yang seimbang sebagai pedoman dalam melangsungkan kehidupan secara keseluruhan.
Keunikan lainnya, warga Kampung Kuta sangat dilarang membuat sumur. Air untuk keperluan sehari-hari harus diambil dari mata air. Larangan para leluhur mungkin ada benarnya. Ini lantaran kondisi tanah yang labil di kampung ini dikhawatirkan dapat merusak kontur tanah. Terutama membuat sumur dengan cara menggali atau mengebor tanah.
Kedekatan masyarakat kampung adat dengan alam tidak hanya itu saja setiap tahunnya masyarakat kampung Kuta mengadakan Upacara Adat nyuguh. Upacara Adat Nyuguh ini merupakan suatu upacara ritual tradisional Adat Kampung Kuta Kec. Tambaksari Kabupaten Ciamis yang selalu dilaksanakan pada tanggal 25 shapar pada setiap tahunnya. Upacara ini bertujuan sebagai persembahan bentuk syukur kepada Tuhan dan bumi yang telah memberikan pangan bagi masyarakat kampung Kuta.
Kampung adat ini dihuni masyarakat yang hidup dilandasi kearifan lokal. Dengan memegang teguh budaya, pelestarian lingkungan di kampung ini bisa menjadi contoh bagi kita semua untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan dengan berpegang teguh kepada budaya lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar